Gerbang masuk ke Sang Ananta Bhoga di dalam kompleks Pura Lempuyang, salah satu pura paling suci di Bali. Gerbang ini menandai pintu masuk ke salah satu dari tiga bagian utama pura, yang didedikasikan untuk Brahma, Sang Pencipta, sesuai dengan kosmologi Bali.
Di Bali, alam bukan sekadar latar belakang. Ia adalah napas, kehadiran, dan roh. Kesakralan mengalir di dalamnya seperti arus—diam dan terus-menerus.
Kita tidak perlu mencarinya di pura atau upacara. Kita merasakannya dalam kabut yang naik dari sawah saat fajar, dalam angin yang menyapu pohon beringin, dalam wajah-wajah patung batu yang diam, dilunakkan oleh lumut dan waktu.
Orang Bali tidak memisahkan yang ilahi dari dunia. Yang sakral bukanlah dogma, bukan sesuatu yang terjadi hanya sesekali. Ia hadir secara halus, terus-menerus, dibagikan dan dijalani setiap hari.
Di Bali, yang sakral memiliki tiga tingkat:
Suarga, langit tempat para dewa bersemayam,
Bhur, dunia roh yang mengelilingi kita,
Bhwah, dunia manusia dan persembahan.
Yang mengalir di antara semuanya adalah keseimbangan kosmos—benang tak kasat mata yang menyatukan segalanya, menjaga harmoni energi.
Pandangan ini bukan semata hasil dari pengabdian religius. Ia lahir dari proses sinkretisme budaya yang panjang, ketika kekuatan animisme kuno dan kosmologi Hindu berpadu, melahirkan geografi spiritual yang unik dan hidup.
Pura-pura di Bali tidak menjulang tinggi atau megah seperti dalam budaya lain. Mereka gelap, bersudut, sering tersembunyi. Mereka menyatu dengan hutan atau menghadap ke laut. Mereka tampak seperti makhluk yang keluar dari batu, dengan penjaga yang garang menyambut siapa pun yang mendekat. Namun di dalamnya, mereka adalah ruang terbuka. Mereka bernapas bersama lanskap, mengikuti bentuknya, menyatu dengannya.
Alam bukan sekadar bingkai—ia adalah inti. Dan spiritualitas bukan sesuatu yang di atas atau di luar—ia ada di dalam.

Hadiah Air
Untuk sesaat singkat, Varuna* memberikan jalan suci bagi siapa saja yang ingin naik dan berdoa; dalam momen yang cepat itu, ikatan antara manusia dan yang ilahi menjadi nyata, sebuah hadiah yang dibisikkan oleh air. Kemudian, saat air pasang tinggi tiba, pura berubah menjadi pulau kecil yang sepi, digendong oleh ombak dan kembali ke pelukan pelindung Varuna.
*Varuna adalah Dewa Hindu yang dianggap sebagai penguasa lautan dan samudra, tetapi juga memiliki hubungan dengan hujan dan air bawah tanah.


Penjaga Sunyi
Batu karang ini, dipotret dari atas tebing, tergantung antara langit dan laut, menyingkap kekuatan abadi pengabdian dan pengorbanan. Hyang Agung\* mengawasi batu suci yang terbentuk oleh laut dan waktu. Ombak yang tak henti-hentinya membawa doa-doanya ke daratan dan kesunyian ilahi memenuhi setiap helaan napas di tempat itu.
*Hyang Agung adalah Dewa Tertinggi Hindu di mana Hyang adalah manifestasi roh-roh alam yang, menurut tradisi Bali, mendiami tempat-tempat suci dan alami.
Penantian Ilahi
Di antara nyanyian ombak dan kesunyian tebing, Bhumi menanti pasangannya Vishnu**, terumbu karang Balangan menjadi panggung pertemuan suci, di mana keindahan dan kekuatan alam bersatu dengan harmoni abadi yang ilahi.
*Bhumi adalah dewi bumi, sang pemberi nutrisi, sumber kehidupan, dan lambang kesuburan serta kelimpahan.
**Vishnu adalah pelindung dan pemelihara alam semesta, yang mewujudkan energi yang menjaga keharmonisan semua makhluk.


Kabut dan Harapan
Dewi Danu, yang diselimuti kabut, melayang di atas air danau dengan tatapan tertuju ke cakrawala, menunggu sesuatu yang hanya diketahui oleh air—sebuah rahasia tersembunyi di antara kabut dan ombak atau mungkin sebuah janji, yaitu pertemuan dengan Varuna. Tatapan Buddha** melindunginya dan, mungkin, diam-diam sudah mengetahui jawaban dari keinginannya.
*Dewi Danu adalah dewi air yang dihormati di Bali sebagai pelindung danau dan sungai. Pura Ulun Danu Bratan, yang terletak di tepi Danau Bratan, didedikasikan untuknya.
**Varuna adalah dewa air dan langit dalam mitologi Hindu Weda, dianggap sebagai penguasa tatanan kosmis dan keadilan.
***Patung Buddha ditempatkan di sebuah bangunan khusus dalam kompleks pura.

Pendakian Menuju Yang Ilahi
Sang Naga Basukih* adalah salah satu dari tiga titik pada tangga Gunung Lempuyang**. Perjalanan menuju puncak gunung adalah seperti perjalanan kehidupan: setiap langkah adalah bagian dari pendakian yang bukan hanya fisik, tapi juga spiritual. Di sini, yang sakral hidup berdampingan dengan kekuatan yang lebih tua, purba. Kesakralan yang tidak turun dari langit, tapi seolah muncul dari kedalaman lautan... dan jiwa orang Bali.
Menurut kosmologi Bali, Gunung Lempuyang dibagi menjadi tiga bagian: di dasar adalah wilayah Brahma Sang Pencipta (Sang Ananta Bhoga), di tengah wilayah Vishnu Sang Pelindung (Sang Naga Basukih), dan di puncak wilayah Siwa Sang Penghancur (Sang Naga Taksaka).
**Pura Lempuyang Luhur, di puncak, adalah salah satu dari enam pura paling suci di Bali (Sad Kahyangan Jagad) dan mewakili arah Timur di antara sembilan pura utama di pulau ini. Pura ini diasosiasikan dengan warna putih dan dewa Iswara. Terletak pada ketinggian 1.175 meter.

Tari dan Tradisi
Pura Taman Kemuda Saraswati* adalah ruang penceritaan melalui tarian, di mana tradisi dan kehidupan kontemporer saling terjalin, juga berbicara kepada pengunjung modern.
*Pura ini tergolong baru, tidak seumur pura-pura lain di Bali, dibangun pada tahun 1951 atas inisiatif keluarga kerajaan.

Tanpa hak cipta, tidak untuk dijual. Gambar dibagikan untuk tujuan budaya dan informasi.
Kesakralan
Melasti adalah ritual yang dirayakan 3-4 hari sebelum Nyepi*. Ritual ini berlangsung di Pura Sagara, pura-pura yang terletak di tepi laut, dan didedikasikan untuk Sangyang Widhi Wasa, dewa tertinggi. Tujuan ritual ini adalah penyucian diri dan benda-benda suci** yang berhubungan dengan spiritualitas dan hati desa. Partisipasi, warna-warni, dan jumlah orang yang ikut memukau siapa pun yang menyaksikan. Bagi orang Bali, ini adalah momen hidup, berakar dalam kehidupan sehari-hari, sebuah spiritualitas yang tidak terpisah, tapi menjadi bagian dari setiap gerakan. Di sini tidak ada jarak antara yang sakral dan yang sehari-hari, tidak ada pemisahan. Ini adalah dunia tersendiri, penuh senyum, anak-anak yang bahagia, dan rasa kebersamaan yang sulit ditemukan di Eropa.
*Nyepi adalah hari Tahun Baru Bali, yang mengikuti kalender lunar sendiri, Saka, yang terdiri dari 210 hari dalam setahun dan berbeda sekitar 77 tahun dari kalender Gregorian. Nyepi terdiri dari enam ritual berbeda yang berlangsung selama enam hari di sekitar perayaan tersebut.
**Arca, Patima, dan Pralingga adalah benda-benda suci.

Gambar dan teks di halaman ini menggambarkan ritual suci dari tradisi Bali. Semua dibagikan dengan rasa hormat dan perhatian terhadap kedalaman spiritualitasnya. Konten ini hanya untuk tujuan edukasi dan budaya, bukan untuk dijual dan tidak dikenai hak cipta. Mohon lihat representasi ini dengan sensitifitas dan kesadaran akan makna budayanya.
Pitra Yadnya, persembahan untuk leluhur

Bagi orang Bali, kematian bukanlah akhir, melainkan sebuah perjalanan penting menuju siklus kehidupan yang baru. Upacara Pitra Yadnya membebaskan jiwa dari ikatan duniawi, memungkinkan jiwa untuk dilahirkan kembali atau menyatu dengan yang ilahi. Persembahan suci ini bukan hanya sebuah perpisahan, melainkan momen persekutuan antara dunia yang terlihat dan dunia spiritual, sebuah tindakan yang menyatukan komunitas dalam rasa hormat dan perayaan akan kehidupan dan kematian.

Wadah adalah struktur suci yang menampung jenazah selama upacara pemakaman. Ini melambangkan perjalanan dari dunia fana ke dunia spiritual.
Para musisi mengiringi prosesi pemakaman dengan suara riang, merayakan perjalanan almarhum dalam hari penuh kebersamaan dan sukacita.

Harap diperhatikan
Gambar berikut menangkap momen otentik dari upacara pemakaman Bali.
Mengandung konten sensitif. Melihatnya adalah pilihan sadar.


Klik gambar untuk melihat
Gerakan yang menjadi doa 
Temukan tarian suci Bali.
Ikuti angin, menuju pulau tempat 
mereka menari untuk para dewa.
Back to Top